Kekuasaan dalam sistem kebijakan dan regulasi memiliki tendesi yang positif sebagai upaya bersama, namun keretakan politik yang bersih tidak dapat disangkal rentan dalam perwujudannya. Apalagi berbicara mengenai dialog di era yang terbilang serba cepat, sesungguhnya bernada menyinggung keajaiban globalisasi modern. Sebagaimana langkah melampaui dan melewati proses kemajuan dalam segala dimensi literatur merupakan langkah menjadikan dan mengubah sesuatu lebih instan. Rupa-rupa kemajuan mengantar kita untuk masuk dan mengambil bagian di bidang teknologi. Tetapi, kemajuan ini berangsur-angsur hadir sebagai sarana yang riskan memudahkan percepatan pembangunan dan pengembangan potensi manusia, entah itu politik, ekonomi, budaya, maupun agama.
Rumpun persoalan yang beranekaragam dan perkembangan populasi manusia yang berkembang, hendaknya menuntut kita dalam upaya pengaturan manusia yang manusiawi. Tidak jarang, manusia riskan merugikan orang lain dan mudah menjadi pembawa masalah. Sebab, hal serupa tidak dapat diindahkan sebagai sesuatu yang lumrah. Secara vulgar, manusia yang manusia merupakan sesuatu yang sifatnya dilematis dan serentak dramatis. Di tengah kemajuan yang simpang-siur ini, kita diajak untuk sedapat mungkin beribadah dengan berdialog dalam menciptakan rasa damai dan cinta. Segala sesuatu memiliki peranan yang berbeda dan unik. Dengan kata lain, apakah sebuah kemajuan itu dapat diaktualisasikan sebagai sarana yang menguatkan manusia dan bukan sebaliknya melemahkan manusia?
Dalam permenungan kita di Papua, tentu kita menemukan rentetan persoalan yang tidak bisa langsung dijelaskan secar gamblang. Tetapi, kita mengenal Pulau Papua sebagai Negeri yang kaya dan penuh dengan susu dan madu. Meskipun demikian, kekayaan itu bukan milik manusia Papua, yang kulitnya hitam dan rambutnya kriting. Orang Asli Papua (OAP) seperti menjadi orang asing di atas negerinya sendiri. Ketika NKRI mengklaim diri dan telah menguasai tanah Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan dilakukannya PEPERA 1969. Tendensi ini, rupanya menimbulkan beragam persoalan yang terjadi terus-menerus dan tiada henti-hentinya.
Kematian dan pengungsian di Intan Jaya, Nduga, Kiwirok, dan Maybrat telah mencuri mata semua orang Papua dan non Papua melalui Media Sosial maupun Media Cetak. Sebagaimana upaya kemanusiaan yang digalakkan oleh Imam, Biarawan/I merupakan pengejawantahan misi dan Amanat Agung Kristus. “Suka duka umat Allah di tanah Papua menjadi suka duka Gereja Universal” (Gaudium Et Spes, Art.I). Di Intan Jaya, semua warga di kampong-kampung mengungsi di Gereja-Gereja terdekat. Selain itu, pengungsi di tempat lain juga mencari tempat aman di hutan-hutan. Di dalam kondisi pengungsian ini telah mengakibatkan korban jiwa dan penderitaan yang panjang. Sebab, ada yang meninggal duni dan ada juga yang sakit akibat lapar.
Baca juga:
Maria: Mater Dolorosa Rakyat Intan Jaya
|
Para pengungsi ialah mereka yang hidup dan tinggal di tanah leluhurnya sendiri. Namun, setelah adanya adu tembak antara TNI/POLRI dan TPNPB maka mereka mencari tempat aman agar tidak terkena peluru nyasar dari kontak senjata tersebut. Perselisihan di antara kedua pihak bertikai ini tidak menimbulkan efek jerah sama sekali, karena keduanya saling mengejar dan saling menjaga dengan kepala panas. Keadaan kontak senjata justru merupakan tindakan mencoreng dan menghujat harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang sempurna. Jika persoalan ini tidak diselesaikan dengan cara damai dan duduk melihat persoalan dengan kepala dingin, maka kekerasan di atas kekerasa akan terus berlangsung dan tidak akan berhenti. Oleh Karena itu, kekerasan di tanah Papua harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dialog merupakan sarana yang didorong oleh Jaringan Damai Papua (JDP)) untuk mencari solusi penyelesaian masalah yang tidak merugikan siapa pun dan bermartabat. Sebab, dialog juga mengajak 9 (sembilan) komponen untuk berbicara dari hati ke hati tanpa kekerasa di antaranya; pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI/Polri, TPNPB, Orang Papua di Papua, Orang Papua di Luar Papua, penduduk di Papua, Investor, dan Media. Kesembilan komponen ini harus terlibat dan dilibatkan dalam penggelaran dialog secara bermartabat.
Selayaknya dialog dijadikan sebagai ibadah dalam memahami dan mengenal seluk-beluk persoalan dengan jujur dan konsekuen. Sebab, dengan begitu upaya membangun tanah Papua kepada masa depan yang cerah akan dicapai sesuai amanat Kristus sebagai kepala Gereja. Para pengungsi sedang mengalami duka dan kecemasan yang berarti dan sedang meramu nasib dalam Perjuangan hidup di hutan-hutan saat ini. Oleh karena itu, dialog sepatutnya dilaksanakan dan diwujudkan di tanah Papua. Pemerintah Pusat mesti menarik semua aparat dari tempat konflik dan segera membangun dialog yang bermartabat. Orang Asli Papua sedang terancam punah di atas tanah leluhurnya sendiri. Maka dari itu, langkah-langkah positif mesti diambil demi kebaikan bersama.
Penting dan mendesak, OAP telah hidup dan bertumbuh dengan berbagai hinaan dan cacian. Orang Papua ingin hidup sebagaimana adanya OAP sebagai manusia. Segala ujaran kebencian diberikan kepada kami dengan melabeli “Monyet”, Separatis, KKB, KKSB, Kribo (Kristing Bodoh), tertinggal, dan lain sebagainya. Pelabelan ini sudah biasa dialami dan dirasakan oleh anak-anak Papua, tatapi Orang Papua tetap berdiri dan melawan dengan bersuara atas kebenaran dan keadilan di atas tanah Papua. Konteks ini rupanya belum dan tidak dimengerti oleh pemerintah pusat sebagai penguasa.Pemerintah dan investor belum mencintai orang Papua, tetapi mencintai kekayan alam Papua saja. Jika Pemerintah mencintai orang Papua, maka dialog sudah pasti terjadi sejak Pater Neles Tebai masih hidup. Pemerintah hanya mau memanfaatkan kekayaan orang papua saja.
Pemerintah pusat sudah harus menarik kembali aparat dan segera melakukan dialog. Sebab, tidak penyelesaian di dalam kekerasan itu sendiri. Pemerintah harus melakukan langkah-langkah persuasif bersama Jaringan Damai Papua (JDP) untuk mewujudkan dialog. Hari ini Papua berada dalam segala kepahitan dan penderitaan yang tak kunjung usai dari hari ke hari. Oleh karenanya, dialog yang elegan menjadi tanggungjawab semua orang yang ada di tanah Papua. Kampanye-kampanye dialog harus terus dikumandangkan sebagai upaya bersama. Sebab, dengan begitu kita telah dan sedang menyumbangkan kebaikan kepada semua orang demi kemanusiaan itu sendiri.
Tidak begitu mendesak, tetapi amat penting untuk kita menjadikan dialog sebagai ibadah yang actual di dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebab, dengan begitu dialog tidak hanya menjadi upaya kabur, namun menjadi sesuatu yang bermakna dan dapat dirasakan makna maupun nilai yang terkandung di dalamnya. Selain itu, kita sedang mengupayakan dialog tersebut, dengan langkah-langkah strategis di dalam kehidupan kita. Dengan ini dialog dapat menjadi ibadah aktual yang menyejukkan dan mendamaikan.
Baca juga:
Tony Rosyid: Pancasila Lahir untuk Siapa?
|
Penulis Yosep Riki Yatipai, Mahasiswa STFT “Fajar Timur”