OAP Tidak Cinta Jokowi, OAP Hanya Trauma Prabowo: Sebuah Iktihar Dibalik Kemenangan Jokowi Dalam Pilpres di Papua

    OAP Tidak Cinta Jokowi, OAP Hanya Trauma Prabowo: Sebuah Iktihar Dibalik Kemenangan Jokowi Dalam Pilpres di Papua
    Foto Istimewa

    Berangkat dari dasar pemikiran Prof. Dr. Franz Mangnis Suseno mengenai demokrasi dalam bukunya Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moderen, yang terbit pada 2001. Di sana Imam Jeusit dan fulsuf asal Jerman itu menyatakan bahwa Demokrasi itu Bukan Memilih Yang Terbaik, Melainkan Mencegah Yang Terburuk Tidak Berkuasa, ( https://geotimes.id/komentar/pemilu-bukan-untuk-mencegah-yang-terburuk-berkuasa, Kamis 21-10-2021. Pukul 10:51 WIT). Rasanya pernyataan ini bisa mengambarkan alasan hakiki mengapa Jokowi selaluh unggul selama dua peride di Papua dalam pemilihan presiden (pilpres). Bahwa sebenarnya OAP memilih Jokowi dengan suara bulat lantaran ada Memoria Passionis dalam kalbu OAP secara kolektif. Semua tahu bahwa Prabowo merupakan seorang pembantai OAP yang bengis selama operasi militer di Papua (DOM) mulai orde baru (orba) hingga pasca orba. OAP tidak mau Prabowo yang memiliki rekam jejak pelanggaran HAM di Papua itu menjadi presiden.

    Jauh dalam diri OAP mereka trauma bahwa selama menjadi tentara biasa saja Prabowo sudah berani tampil sebagai “Mesin Pemusnah OAP” secara keji, apalagi jika beliau menjadi Presiden, entahlah barangkali lebih gila daripada orba, (https://historia.id/militer/articles/jejak-prabowo-di-papua, Kamis, 21-10-2021. Pukul 11:12 WIT).  Jadi Memoria Passionis OAP yang membuat Jokowi selaluh unggul dan Prabowo selaluh gagal. Jadi sangat tidak benar dan salah kaprah sekali opini, perspektif, bahkan trust public bahwa OAP itu sangat mencintai Jokowi. Jokowi dipilih bukan karena cinta melainkan karena ketakutan akan trauma masa lalau.

    Namun bukan berarti OAP sudah berada di zona aman, nyaman, dan damai di rezim Jokowi selama dua periode. Jokowi memang sosok yang tenang-tenang menhanyutkan, diam-diam makan dalam, serigala berbuluh domba, dan kera putih. Sebab setelah ia berkuasa rupanya skandal orba ia kemas dalam rupa yang lebih friendly. Jokowi sebagai Presiden memang berasal dari latarbelakang rakyak kecil, sederhana, dan biasa-biasa saja.

    Namun sebagai politikus ia menganut paham Neo-Suhartonisme. Tidak bisa dinafikan bahwa sebagian besar kabinet dan orang-orang bawahannya adalah anggota militer yang memiliki rekam jejak pelanggaraan di Indoensia. Sebut saja Luhut Binsar Panjaitan, Wiranto, Moeldoko, Tito Karvian, dan Prabowo Subianto. Jadi negari ini dipimpin oleh para kriminal dan Jokowi adalah dalang kriminalitas NKRI yang paling jenius dewasa ini, (https://tirto.id/bagaimana-jokowi-khianati-reformasi-dengan-hidupkan-dwifungsi-abri, Kamis, 21-10-2021. Pukul 10:55 WIT).

    Jika dibangdingkan dengan Presiden Susilo Bangbang Yudiono (SBY) era Jokowi ini lebih brutal dalam perspektif HAM. SBY memang seorang militer dan juga memiliki rekam jejak pelanggaran HAM. Saat itu beliau menjadi anak buah Prabowo. Namun setelah menjadi Presiden beliau mulai kembali menebus kesalahannya dengan menyatakan pentingnya Dialog damai dalam menyelsaikan konflik Papua, https://news.okezone.com/read/2011/11/02/339/524050/sby-diminta-dialog-dengan-rakyat-papua, Kamis, 21-10-2021. Pukul. 2021). Jadi SBY masih menyisihkan sedikit ruang dalam hatinya untuk menyelesaikan kasus Papua secara damai. Namun hal ini sangat kontras sekali dengan Jokowi yang katanya Merakyat, Sederhana, Religius, dan Berpihak pada rakyat kecil. Sebab yang terjadi di lapangan lain. Jangan muluk-muluk, usai dilantik menjadi Presiden Jokowi lansung OTW ke Papua, tepatnya di Jayapura di sana di hadapan rakyat Papua Jokowi sempat menjanjikan akan segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Paniai.

    Namun hingga hari belum ada tanda-tanda positif. Jangankan itu banyak kasus pelanggaran HAM di Indonesia secara umum, khususnya Papua baik yang terjadi pra Jokowi atau pada saat Jokowi, tidak pernah mencapai titik cerah. Sepertinya semua hal berbau dan berjiwa kemunafikan absolut itu menjadi habitus hakiki rezim Jokowisme.

      Memang patut juga diakui bahwa dari presiden-presiden silam hanya dan mungkin cuma Jokowi saja satu-satunya presiden yang paling suka OTW ke Papua. Terhitung sudah 17 kali terkahir saat menjelang PON XX. Namun apa yang terjadi? Sepertinya semua biasa-biasa saja. Ia memang banyak membangun, namun untuk siapa? Kalau itu tidak berdampak pada kehidupan OAP. Ada beberapa pedekatan yang selama ini salah sasaran di Papua.

    Pertama Pendekatan Pembangunan, Jokowi banyak berfokus pada aspek pembangunan fisik tanpa mengubris aspek pembangunan psikis OAP. Sehingga AOP hanya menjadi penonton dan kaum pendatang menjadi pemain di atas tanahnya sendiri.

    Kedua, Pendekatan Ekonomi/Kesejahteraan. Jokowi hanya tahu menguyurkan puluhan triliyunan ke Papua tanpa ada monitoring yang berkala, kompleks, dan komprehnsif dari KPK. Hal ini membuat prektek Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) menjadi kebiaasaan baru OAP. Ketiga, Represif-Militeristik. Hampir semua konflik yang terjadi di Papua dalam era Jokowi pendekatan yang dilakukan ialah pendekatan-pendekatan yang represif-militeristik; Operasi Militer, Kontak Senjata, Pengunsian warga Sipil, dan lainnya. Sehingga pendekatan kekerasan ini hanya akan melahirkan kekerasan dan kejahatan baru. Conto kasusnya ialah Ndugama Berdarah, Intan Jaya Berdarah, Maybrat Berdarah dan Kiwirok berdarah.

    Keempat, Hukum Yang Diskriminatif, Manipulatif, dan Rasis. Selama ini jika OAP yang melakukan itu proses hukumnya cepat dan dilimpahi pasal-pasal fulgar; Makar, Pembrontak, Separatis, Ekstrimis, dan Teroris. Salah satu contoh kasusnya ialah kasus penangkapan dan penahanan Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo yang disinyalir oleh lemabaga-lembaga hukum/HAM dan aktivis kemanusiaan sebagi praktek penerapan hukum yang diskriminatif, manipulatif, dan rasis, (https://tirto.id/mereka-yang-menuntut-pembebasan-juru-bicara-knpb-victor-yeimo, Kamis, 21-10-2021. Pukul. 11:17 WIT).

    Sudah saatnya di zaman yang post-modren ini sebagai manusia yang sudah tercerahkan secara intelektual, moral, mental, dan spiritual. Jokowi dan anak buahnya mengevaluasi, merefleksikan, mengdekonturksi ulang pendekatan-pendekatan yang salama ini diterapakan di Papua. Sebab sudah terbukti itu tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah-masalah baru. Ada dua pendekatan resolusi yang bisa pemerintah pertimbangkan;

    Pertama, Doa-Rekonsiliasi. NKRI dan Bangsa Papua bisa berdoa bersama sebagai satu keluarga dan tungku Api guna berdamai; dengan diri sendiri, sesama, alam semesta, leluhur, dan Tuhan Sendiri. Hal ini penting agar pikiran dan hati, bahkan seluruh kedirian keduanya didamaikan sehingga menjadi lebih positif, tenang, cair, dingin, dan damai. Kedua bela pihak bisa menunjuk Jaringan Doa Rekonsiliasi Untuk Pemulihan Papua (JDRP2) sebagai fasilitator.

    Kedua, Dialog Damai. Setelah nuansa hati, pikiran, batin, dan keseluruhan diri kedua bela pihak pihak pertikai menjadi lebih aman, nyaman, tenang, cair, dan damai, maka saat itulah Dialog Damai . Perluh dicatat bahwa Dialog Damai yang dimaksud mesti pararel atau sinkorn dengn konsep dan mekanisme Dialog Damai yang telah dirintis oleh alm. Pater Neles Kebadabi Tebay dan alm. Dr. Muriddan Widjojo. Dengan demikian “Papua Tanah Damai dan Surga Kecil” itu tidak mustahil.

    Penulis: Siorus Degei, Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura, Jayapura - Papua

    Jokowi Prabowo Papua
    Aleks Waine

    Aleks Waine

    Artikel Sebelumnya

    Surat Untuk Vikjen KWI Yang Baru Pulang...

    Artikel Berikutnya

    Lagi-lagi! Mahasiswa Meepago Minta Pemda...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Nagari TV, TVnya Nagari!
    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Indonesia Hanya Butuh Pemimpin Jujur yang Berani
    Babinsa Koramil Sarmi Laksanakan Komsos di Kampung Tafarewar
    Terima Kunjungan dari Ster Mabes TNI, Satgas Yonif 512/QY Dapat Apresiasi atas Pelaksanaan Kegiatan Teritorial

    Ikuti Kami