Ketika Darah Nopelinus Sondegau Memanggil Uskup dan Imam Papua Demi Perdamaian di Intan Jaya

    Ketika Darah Nopelinus Sondegau Memanggil Uskup dan Imam Papua Demi Perdamaian di Intan Jaya
    Foto Anak Nopelinus Sondegau, umur 2 tahun yang meninggal akibat kontak senjata antara TNI/POLRI dan TPNPB, beberapa hari lalu.

    Instansi Militer Indonesai, yakni TNI AD Indonesai sebagai pelaku utama dalam semua kasus operasi militer di Papua mulai dari tahun 1964 hingga kini (dan mungkin kelak) telah secara mengegerkan memdapatkan “Hasil” dari semua dosa yang selama ini mereka lakukan di Papua. Melalui temuan-temuan LSHAM Indonesia yang disampaikan oleh Haris Azhar Direktur Lokataru dan Fatia Maulidiyanti.

    Direktur Kontras dan yang dikaji lebih mendalam oleh Koalisi Bersihkan Indonesia. Akhirnya Gurita Bisnis Tambang milik TNI AD, khususnya para panglima dan purna wirawan jendral TNI, dalam hal Luhut Binsar Panjaitan sebagai predator tambang di Papua dan Kalimantan Timur dibongkar oleh Mera Setyadi dan kawan-kawan dari Koalis Bersikan Indonesia. Ada juga dua nama putra dari Presiden Jokowi dodo dalam kafer bisnis Lord Luhut sebagai pemilik Saham terbsesar Kedua setelah lord Luhut, ((https://www.suara.com/news/2021/10/08/154258/koalisi-bersihkan-indonesia-ungkap-gurita-bisnis-tambang-luhut-dan-pejabat-negara, Minggu, 31-10-2021. Pukl. 12:30 wit).

    Jadi demikianlah potret “Penjurkirbalikan’ Hukum Alam terhadap pihak-pihak yang selama ini menjajah bangsa Papua. Mereka memang mungkin lolos dari jerat hukum Indonesia yang terbilang amat sangat “cemen” karena maklum hukum tersebut dibuat bukan untuk mengadili yang salah dan menopamg yang benar, melainkan melindungi yang kaya dan menjarah, bahkan menindas yang miskin, kecil, dan lemah. Namun mereka tidak dapat lolos dari jerat hukum alam yang “luhur, mulia. Agung, dan adil” karena itu berumber dari Sang Kahlik sendiri bukan Human Eror.Pemerintah Indonesia dan semua pihak yang mempunyai kepentingan ekonomi-politik di Papua. Pihak-pihak yang doyan menjadikan Papua sebaga ‘Neraka’, ‘Medan Perang’, dan ‘Koloseum’ sehingga memelihara konflik di Papua bak “Anak Kandung” Sendiri. Sudah saatnya untuk sadar bahwa “Hukum Alam” sangat berpihak pada orang yang benar, kecil, miskin, sakit, tersingkir, tertindas, dan terjajah. Dalam artian bahwa bukti pembantaian “Hukum Alam” terhadapa pihak-pihak yang selama ini berlaku jahat terhadap orang asli Papua satu per satu di atas mau menegaskan bahwa Papua itu “Tanah Damai” Papua itu “Tanah Surag” Sehingg barangsiapa tidak jujur berkarya di Papua maka sekalipun ia lolos dari jerat manusia melalui hukum, namun sekali-kali ia tidak akan pernah lolos dari “Hukum Alam” yang adalah manifestasi dari “Hukum Allah” Sendiri.

    Kini Darah dua orang anak kecil yang tertembak di Intan Jaya, yakni Nopelinus Sondegau (2 thun) yang kesasar timah panas hingga ususnya keluar dan Yoakim Mujijau yang punggunya menjadi ruang singgah timah panas selama dua hari, telah, sedang, dan akan terus menuntut kebenaran, keadilan, dan perdamaian di Intan Jaya dan seluruh Papua. Darah kedua anak kecil yang tidak bersalah dan berdosa ini telah sukses berkampanye kepada Allah di Surga sebagaimana kampanye darah Habel kepada Allah ketika ia dibunuh secara serakah oleh kakaknya sendiri, Kain.

    Pemerintah Indonesia semestinya tidak mengirah dan menanggapi persolan ini secara manusiawi belaka atau secara admisntratfi-profanistis yang relative dan semu. Namun sebagai manuisa normal yang berakal budi dan berhatinurani, terang akal budi dan cahaya iman itu dipancarkan untuk melihat persoalan Intan Jaya secara manusiawi. Sehingga darah dua anak kecil yang tidak bersalah dan berdosa itu tidak mengakibatkan “Karma Raksasa” terhadap eksistensi lembaga pertahanan dan keamanan Indonesia (TNI-POLRI). Sudah saatnya persoalang Papua itu didekati dari hati ke hati, dari iman ke iman.

    Dimana Suara Uskup Papua Ketika Darah Nopelinus Sondegau Menuntut Kebenaran, Keadilan, dan Perdamaian di Intan Jaya-Papua

      Tulisan Pater Bernardus Bowitfos Baru OSA Direktur Seketariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPC) dari  Ordo Santo Agustinus (OSA)  Sorong-Papua Barat dan juga seorang Misiolog dari Universitas Gregoriana Roma di Media Online “Sinar Keadilan” dengan judul “Jangan Jadi Judas Iskariot,  Gereja Harus Tujunkan Peran Dialogis Untuk Solusi Bermartabad Atas Konflik Bersenjata di Papua, (https://sinarkeadilan.com/jangan-jadi-judas-iskariot-gereja-harus-tunjukkan-peran-dialogis-untuk-solusi-bermartabat-atas-konflik-bersenjata-di-papua, Minggu, 31-10-2021. Pukul. 12:33 wit). Dan dua opininya di Jubi dengan Judul  Kritikan Johann Baptist Metz atas peran Gereja dan upaya mengakhiri kekerasan kemanusiaan di Papua, (https://jubi.co.id/384581-2, Minggu, 31-10-2021. Pukul. 12:36 wit). Mesti menjadi referensi primer bagi para imam, khususnya imam pribumi dan Pemimpin-pemimpin Gereja, terutama empat Uskup dan Satu Administrtor serta dua Ordo, yakni Profinsial Fransiskan Duta Damai Papua dan Profinsial Agustinian Sorong-Papua Barat dan juga biawan-biarawati lainnya yang berkarya di Papua segera mengeluarkan seruan perdamain atas konflik Intan Jaya secara bermartabad melalui sebuah Dialog Damai antara Pihak Jakarta dan ULWP yang dimediasi oleh pihak asing yang independen. 

    Masah pemipim Gereja tinggal diam pangku kaki saat dua imamnya Pater Yance Yogi dan Pater Frans Sondegau berani turun tangan dan pasang badan melindungi umat di Intan Jaya, (https://suarapapua.com/2021/10/30/dua-pastor-dan-tim-pastoral-selamatkan-6-warga-yang-terjebak-dalam-rumah-di-bandara-bilogai, Minggu, 31-10-2021. Pukul 13:04 wit). DIMANA SUARA USKUP PAPUA dan Konferensi Wali Gereja Indonesia atas Krisis Kemanusiaan di Intan Jaya? Di mana Suara Gereja Ketika Darah Nopelianus Sondegau Menuntut Perdamaian di Intan Jaya? Perluh diketahui bahwa pada Selasa 12 Oktober 2021 Sekretaris Jenderal KWI Mgr. Antonius Subianto Bunyamin OSC hadir di Intan Jaya dalam acara tahbisan tiga imam diosesan dari Keuskupan Timika, dan Mgr. Anton sendiri barangkali sudah mendengar sendiri dari umat Allah di Intan Jaya apa yang menjadi duka-cita, kegembiaraan, kerinduan, dan harapan mereka. Sudah saatnya KWI angkat suara, sebagai SEKJEND KWI,  Mgr. Anton jangan jadi “Judas Iskariot”.

    Baca juga: Kejora Hingga Akhir

    Para Uskup Papua selain bisa melobi ke KWI (Konfrensi Waligereja Indonesia) atas penyelesaian dialogis kasus Papua, juga bisa melobi ke Dewan Gereja Katolik di Pasisfik. Tentunya hubungan Gereja Katolik Papua dan Pasifik sudah cukup dekat dan erat sebab Alm. Pater Neles Kebabadi Tebai telah menjalin kontak yang intim dengan pihak Gereja Pasisfik pada 2015. Sehingga ling yang sudah ada itu bisa dimanfaatkan untuk bisa meloloskan seruan Uskup di kanca Internasioanal. Dan juga Pimipinan Gereja Papua atau Komunitas Imam-Imam Pribumi Papua bisa melobi ke Pax Cristi, sebuah Lembaga kemanusiaan yang terdiri dari para rohaniwan/ti yang notabenenya punya legal standing otonom dan idependen di hadapan PBB dan komunitas Internasional lainnya. Di komunitas itu pun Pater Neles telah merajut ikatan Komunio yang erat, sehingga seruan atau aksi Gereja di Papua bisa dikampenyekan di sana. Pendekanya ada banyak jalan menuju Roma. Jika dewan pimipinan Gereja Katolik di Tanah Papua itu memang benar-benar representasi dari Allah sendiri. 

    Maka sudah saatnya tuntutan Darah Nopelinus Sondegau dan tangisan keluarganya di Intan Jaya direspon dengan angin kebenaran, keadilan, dan perdamaian yang sejati melaui Seruan Untuk Mendesak Jungungan Komisioner Tinggi HAM PBB (KT HAM PBB), Doa Rekonsiliasi Damai dengan Jaringan Doa Rekonsiliasi Untuk Pemulihan Papua (JDRP2) sebagai Fasilitator, dan mendesak diselengarakannya “Dialog Damai” sebagaiman yang digagas oleh Alm. Peter Neles Kebadabi Tebai. Pater Yance Yogi dan Pater Frans Sondegau saja tidak cukup! Semua Uskup Papua mesti turun tangan untuk mengadakan sebuah “Dialog Damai” sesuai konsep Pater Neles Kebadabi Tebai!.

    Sekali lagi kita butuh sosok Uskup yang getol, vokal, dan frontal menyuarahkan kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Uskup Jayapura Mgr. Herman Ferdinandus Maria Münninghoff OFM, kala Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) yang aktif, massif, sistematis, dan produktif. Beliau menyampaikan suara kenabiannya di PBB hingga ‘DOM’ terhapus di Papua dan LBH Jayapura di bangun, (https://suarapapua.com/2018/02/17/saya-siap-mati-untuk-papua-perjuangan-uskup-muninghoff-dalam-advokasi-ham-di-tanah-papua-bagian-kedua-habis, Minggu, 31-10-2021. Pukul. 12:43 wit). Kini kita tunggu saja apa yang akan dilakukan oleh 4 Uskup dan satu Administrator di Papua beserta ratusan Imam pribumi lainnya, khususnya demi perdamaian di Intan Jaya. Adakah anatara para Uskup yang berani maju mengadvokasi masalah Papua ke hadapan PBB dan melawan ketidakalin sekaligus kekejaman militer dengan berkata “SAYA SIAP MATI UNTUK PAPUA” sebagaimana Alm. Mgr. Herman Munninghoff OFM Martir Bangsa Papua.

    Penulis Adalah Siorus Degei, Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura-Papua.

    Papua
    Aleks Waine

    Aleks Waine

    Artikel Sebelumnya

    Maria: Mater Dolorosa Rakyat Intan Jaya 

    Artikel Berikutnya

    Lagi-lagi! Mahasiswa Meepago Minta Pemda...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Nagari TV, TVnya Nagari!
    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Harmoni Bersama: Kesatria Mayangkara Memperkuat Hubungan dengan Masyarakat Papua
    DPR Setujui Herindra Jadi Kepala BIN, Perkuat Sinergi Intelijen dan Pertahanan
    Kodim Sarmi Gelar Sosialisasi P4GN

    Ikuti Kami