Sebuah Refleksi Kritis demi dialog Damai Jakarta-Papua
Duka, derita, dan kesengsaraan hidup yang datang silih berganti memberikan warna hidup yang menghidupkan dan mematikan. Sedih bila memahami secara mendalam. Kita semua adalah berharga dimata Sang-peng-Ada semua ciptaan. Siapa pun manusia diciptakan oleh Tuhan dan dianugerahi akal budi, perasaan dan kehendak. Berbanding terbalik dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya. Manusia memiliki tanggungjawab untuk memelihara dan melestarikan segala sesuatu yang ada dibumi. Adanya akal budi mempermudah manusia untuk mampu berpikir secara beraturan sesuai tata aturan yang telah ada, kemudian menata sesuai dengan tata aturan yang ada sejak manusia diciptakan. Sehingga tuntutan untuk manusia mesti lebih tinggi dari pada seekor anjing yang hanya mengguakan instingnya. Segala persoalan pun dapat diselesaikan jika menjungjung tinggi akal budi. Ketika manusia sudah tidak menggunakan akalnya, disitulah tingkat hidup menjadi terendah dalam hidupnya. Yang ada mengancam perdamaian dan martabat hidup manusia sehingga hidup damai berada dalam ancaman.
Awal mula sejak tanah papua ini dijadikan oleh Sang Pencipta, bumi Papua Ia memberkati dengan seluruh ciptaan yang ada. Semua orang asli Papua menyebut tanah Papua ini, tanah yang diberkati oleh Allah yang menciptakan tanah ini. Allah itu adalah Allahnya Bangsa Papua. Tanpa sadar, seluruh orang Papua menyebut hal itu. Dia menjadi sumber untuk memberikan ide kepada manusia yang ada di atas tanah ini supaya memperoleh dan menikmati damai yang Ia berikan kepada setiap pribadi manusia yang hidup di tanah ini. Allah mempunyai tujuan khusus mengapa Ia ciptakan tanah ini, supaya manusia merawat dengan baik sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh pribadi tersebut. Manusia yang datang dari berbagai kalangan yakni masyarakat biasa, pegawai, kapitalis, wajib memelihara damai diatas tanah yang diberkati oleh Allah bangsa Papua yang menciptakan tanah ini.
Nyatanya sistem militerisme yang diterapkan oleh pemerintah telah merobohkan semua sendi-sendi untuk mengais hidup damai. Masyarakat yang tadinya hidup damai mulai terkikis dengan cara pembunuhan profesional dan melalui tembakan senjata dan lain sebagainya. Burungpun enggan beterbangan secara liar. Akibatnya manusia di Tanah Papua hidup dalam sebuah ancaman yang berat. Hidup saja sudah menjadi beban. Tarik napas saja masih pikir-pikir. Banyak mata-mata di setiap sudut jalan. Banyak orang mulai tanya-tanya ke sana kemari. Entahlah! Ini macam kuis bayaran. Setiap daerah memiliki jumlah tentara yang banyak dengan pos penjagaan yang ketat masyarakat Papua seakan menjaga musuh di perang dunia II. Katanya mau jaga musuh yakni masyarakatnya sendiri. Aneh! Negara ada untuk kesejahteraan rakyat atau menyengsarakan rakyat. Lalu ditelusuri bahwa semuanya ini dilakukan untuk berlomba didunia yang bisnis hanya mementingkan kekuasaan, menanamkan modal. Menanamkan modal untuk berjuang hidup karena ditempat asalnya mengalami kekeringan, tidak mendapat hasil, tanahnya begitu-begitu saja datang mencari harta yang terpendam dengan cara yang aneh yakni dengan cara kekerasan. Di manakah letak kemanusiaanmu sebagai mahluk yang berakal budi?
Hidup damai di atas tanah yang diberkati oleh Allah sendiri adalah kerinduan suku-suku di Papua. Manusia Papua sangat merindukan untuk hidup damai yang dulunya sudah pernah ada, yakni hidup yang harmonis sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah. Tetapi ditengah hidup damai ini pula militerisme pemerintahan Indonesia berusaha keras untuk kerja sama dan saling melindungi sesama pendatang antara pegawai, mereka yang cari kerja lewat apa saja, kaum kapitalis berusaha menciptakan konflik dan kekerasan lewat berbagai bidang. Letak manusia sebagai ciptaan Allah kaum pendatang kurang menyadari, berusaha menarik suku-suku Papua dalam lingkaran itu, dan sekarang dilindungi oleh militerisme Indonesia dengan cara menciptakan konflik dan kekerasan di Tanah Papua Misalnya, kasus Nduga, tanggal 2 Desember 2018, yang menewaskan belasan orang. Akibatnya masyarakat mengalami trauma. Bunyi tembakan, semburan api akibat pengeboman dalam usaha mencari pelaku telah memberi suasana tidak nyaman. Seharusnya bunyi petasan, tetapi ini beda, bunyi tembakan dan api. Perayaan Natal yang adalah perayaan sukacita dalam setahun kini menjadi perayaan duka. Hal itu pun dirasakan diseluruh pelosok Papua. Pelosok pedalaman Papua bahkan merusak tatanan hidup masyarakat sipil Papua dengan cara membangun infrakstruktur di tengah hutan belantara (ini salah-satu saja masih banyak lagi) yang kita sudah ketahui bersama diberbagai lini kehidupan. Dengan cara ini pemerintahan Indonesia berhasil merebut tanah Papua yang damai ini menjadi tanah yang konflik, tanah yang terlantar, tanah yang penuh dengan kekerasan.
Di atas tanah damai yang diberkati oleh Allah leluhur bangsa Papua, kerinduan yang diimpikan oleh suku-suku Papua menjadi luntur. Mengapa? Karena pemerintahan menginjak-injak manusia Papua yang adalah”gambar Allah”. Manusia dikatakan bermartabat karena berasal dan diciptakan oleh Allah sendiri. Kalau seperti demikian apa artinya manusia adalah gambar Allah secitra dengan Allah?. Militerisme Indonesia sebenarnya anda diciptakan oleh siapa dan setelah ajal menjemput anda mau kemana dan ke siapa?. Karena tidak menyadari akan hal ini dahulu, tanah Papua yang damai kini berubah menjadi tanah yang konflik dan penuh dengan segalah bentuk macam kekerasan.
Solusi selanjutnya dari pihak militer Indonesia untuk memelihara konflik dan kekerasan serta tanah Papua menjadikan tanah militerisme, rencananya untuk bangun pos-pos TNI/POLRI yang lebih banyak, hanyalah menimbulkan memoria passionis bagi manusia yang tinggal dan hidup di Papua. Saya mewakili seluruh rakyat West Papua serta alam Papua menolak! Membangun tanah Papua sebagai tanah militerisme, stop, stop dan stop. Militer dan TNI/POLRI yang ada sekarang saja tidak bisa tangani seluruh persoalan, banyak persoalan yang masih belum selesai, belum tuntas sampai saat ini, mengapa pemerintahan Indonesia mau bangun pangkalan militer secara besar-besaran? Kalian mau lakukan ini semua untuk menghancurkan tanah damai, tanah yang sudah diberkati oleh Allah leluhur bangsa Papua. Suku-suku di Papua sejak tanah ini diciptakan sangat memaknai, menghayati, akan betapa pentingnya damai serta kasih, membagi kebaikan dengan sesama pokoknya mencintai kewajiban asasinya sebagai manusia yang bermartabat. Tetapi pihak militeri/TNI/POLRI tidak menghargai manusia sebagai ciptaan Allah, malah balik memburuh dan menghabiskan nyawa manusia Papua seakan-akan manusia Papua bukan ciptaan Allah leluhur Papua. Pihak militer TNI/POLRI mereka menganggap kita seperti demikian, maka tidak heran kalau konflik dan kekerasan tidak berhenti diseluruh Papua.
Negara Indonesia kapan mau selesaikan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat maupun ringan yang di jalankan oleh militer. Pertanyaan ini selalu digumuli dan terus bertanya sampai hari ini, oleh seluruh lapisan rakyat West Papua dan negara tidak pernah tanggapi serius untuk mengungkapkan kebenaran pelanggaran ini. Kebenaran semua pelanggaran HAM berat maupun ringan dari 1961 sampai detik ini, tetap tersimpan rapih di ruang kebenaran bukan ruang manipulasi. Pertanyaan lain juga yang selalu muncul dalam kehidupan harian rakyat Papua adalah mengapa negara terus membiarkan semua kejahatan yang luar biasa ini. Setiap presiden yang menjabat, selalu menjanjikan untuk menyelesaikan namun palsu dengan cara yang luar biasa. Cara menipu kita dari semua lembaga Kolonial Indonesia yang berada di teritori West Papua adalah hidup dalam kepura-puraan dengan tingkat yang tinggi, lalu menomorsatukan ekonomi bukan manusianya, persis disitu kita menjadi objek kolonial, sungguh kebenaran sangat membenci penundaan dialog mengapa? Karena Seluruh tatanan hidup damai dinjak dengan sepatu “laras” sampai beribu jiwa manusia OAP maupun NON OAP yang berpikiran, hati nyawa melayang.
Ditengah hidup yang damai dan tenang datang merusak tatanan hidup yang begitu indah seperti alam yang indah menjadikan konflik yang indah, kekerasan yang indah seperti sungai-sungai Papua yang mengalir tiada henti, pembunuhan selalu mengalir, pemerkosaan mengalir, militer TNI/POLRI selalu datang menambah pasukan menghancurkan hidup orang Papua selalu mengalir, cari lokasi yang kosong untuk membangun perkantoran, perkebunan kelapa sawit, transmigrasi tiada henti seperti sungai Papua yang mengalir. Dengan beribu program untuk menghancurkan Papua tanah damai oleh pemerintahan Indonesia adalah semuanya konsep militerisme. Dengan konsep militerisme ini membuahkan hasil untuk Papua tanah damai, menjadi tetap tinggal dibawah kekerasan militerisme Indonesia. Suku-suku Papua pada dasarnya itu mencintai perdamaian, dan untuk mewujudkan itu melalui keadilan dan kebenaran. Manusia Papua itu melawan militerisme karena TNI/POLRI melawan hidup damai itu sendiri. Tetapi biarlah damai itu berdiri kokoh diatas dasar keadilan dan kebenaran yang pernah terukir sejak tanah papua diciptakan dan sampai kapanpun tanah papua ada bersama ditengah manusia yang datang mencarinya. Oleh karena itu penulis menawarkan harus ada dialog kemanusiaan untuk saling mengobati. Pohon itu sudah roboh mesti ada penanaman baru (reboisasi) supaya kita bisa menghirup udara segar secara bersama-sama. Semua pemimpin Jakarta dan Papua harus introspeksi diri jangan keraskan pikiran dan hati, mari duduk dan bicara perspektif Jakarta-Papua atau Papua Jakarta dengan melinatkan pihak ketiga yang netral.
Penulis Adalah, Frater Sebedeus Motee Mahasiswa dan Anggota Kebadabi Voices STFT “Fajar Timur” Abepura Jayapura-Papua
Baca juga:
Gugatan Mahasiswa UKI Ditolak oleh MK
|