"Pendekatan Pembinaan Teritorial” Versus “ Rekonsiliasi dan Dialog Damai”, POLRI dan Andika Prakasa Lagi Krisis Subtansi Hidup Dalam Mencari Resolusi Konflik di Papua

    "Pendekatan Pembinaan Teritorial” Versus “ Rekonsiliasi dan Dialog Damai”, POLRI dan Andika Prakasa Lagi Krisis Subtansi Hidup Dalam Mencari Resolusi Konflik di Papua
    Foto istimewa

    Menanggapi kejadian-kejadian konflik di Papua akibat pendekatan represif-militeristik yang aktif, massif, dan produktif sehingga mengakibatkan ribuan masyarakat sipil mengunsi dan ratusan lainnya meninggal dunia, juga penculikan misterius, info terakhir yang dikeluarkan oleh solidaritas rakyat Papua Tolak Kekerasan Negara atau SORAKPATOK bahwa sebanyak 50.000 jiwa orang Papua mengunsi hingga ke Papua New Gunnea, 300 jiwa meninggal dunia, dan 6 orang hilang, (https://jubi.co.id/sorakpatok-300-tewas-dan-50-ribu-warga-papua-mengungsi/. Sabtu, 13-11-2021. Pukul. 10:16 wit).

    Di dalam tragedi problematika HAM di Papua mulai dari tahun 2018-2021 ada empat kasus yang sangat mengiris dan memiriskan relung hati orang asli Papua (dan kita tunggu lagi), yakni tertembaknya Pendeta Yeremia Sananbani, tertembaknya Katekis Rufinus Pagau, tertembaknya dua orang anak kecil, dimana Nopelius Sondegau (2thn) dinayatakan meninggalnya dunia, sementara Yoakim Majau (6thn) masih dalam pemulihan, (https://suarapapua.com/2021/10/26/dua-anak-tertembak-dalam-kontak-tembak-tni-polri-dan-tpnpb-di-intan-jaya/, Sabtu, 13-11-2021. Pukul. 10:23 wit). Juga Mama Agustina Ondou (21thn) yang tertembak ketika hendak pulang dari kebun, dimana saat itu tidak ada kontak tembak sama sekali antara TNI-POLRI, namun aparat keamanan secara sadar, tahu dan mau menarik pelatuk, sehingga dua longsong peluru menghantam pelipis mata dan merobek kesucian Rahim ibu Ondou, (https://suarapapua.com/2021/11/09/breaking-news-seorang-mama-ditembak-di-kampung-mamba-intan-jaya/, Sabtu, 13-11-2021. Pukul. 10:41 wit).

    Penembakan-penembakan terhadap warga sipil ini sangat menihilkan bahwa aparata keamanan Indonesia adalah yang paling jahanan, biadap, terkutuk, brutal, dan tak berprikemanusiaan. Bahwa pasukan militer yang dihujani di Papua, yang jumbalhnya mencapai 50.000 itu adalah manusia-manusia yang tak berkhlak sama sekali, mereka seperti kumpulan brandalan murahan yang dipungut dari pinggir jalan di bawah kolom jembatan oleh petinggin militer dan diutus ke Papua. Sehingga sangat sukar dibanyangkan bahkan ditolak menta-menta oleh akal sehat dan hati nurani, masah pendeta dibunuh, katekis dibunuh, anak kecil dibunuh, perempuan dibunuh, bahkan ada indikasi kuat misteri kematian beberapa imam pribumi yang getol menyuarakan HAM dan Mgr. Jhon Philip Saklil (alm) juga tidak terlepas dari kesadisan militer Indonesia, jika tidak percaya mari usut tuntas kasus kematian para klerus tersebut dengan melibatkan Tim Investigasi Internasional, bilang saja CIA dan lainnya, semua orang Papua yang masih waras sangat meyakini bahwa kematian daripada imam-imam pribumi Papua dan Mgr. Yohanes Philipus Saklil tidak terlepas dari permaianan busuk Jakarta.

    Permintaan Maaf Sebagai Politik Cuci Tangan TNI-POLRI Atas Tragedi Kemanusiaan di Papua

    Lebih gilanya lagi militer kita, ialah setelah terang-terangan membunuh rakyak kecil yang tidak bersalah dan berdosa dan seorang ibu, dengan gampangnya mereka meminta maaf, https://suarapapua.com/2021/11/11/mengakui-bahwa-aparat-tembak-mama-agustina-kapolres-intan-jaya-minta-maaf/, Sabtu, 13-11-2021. Pukul. 10:46 wit). Wajar jika yang menjadi korban itu bukan Manusia yang adalah karya ciptaan sekaligus insan yang Secitra dengan Allah, maka permohonan ini bisa masuk ke ruang akal sehat dan hati nurani tanpa protes apapun, . Namun sangat sukar permohonan maaf itu masuk ke ruang akal sehat dan hati nurani ketika secara terang-terangan sang pelaku membunuh korban secara biadab. Maka jangankan manusia binatang saja tidak dapat membenarkan hal tersebut, lalu dimana letak kemanusiaan para aparat kemanan itu? Apakah mereka adalah binatang buas yang berwujud manusia? Atau kumpulan para dajjal yang memakai seragam militer?

     Barangkali seperti biasa, politik cuci tangan, ketika membunuh orang asli Papua atau melakukan hal-hal yang berkonotasi Papuafobia maka aparat keamanan akan meminta maaf, seakan-akan kata-kata maaf itu menjadi tabib mujarab dan seketika itu pun bisa menghapuskan duka nestapa orang asli Papua, mungkin dalil aparat keamanan ialah bahwa orang asli Papua itu kental dengan ajaran Kristen, yakni cinta kasih, sehingga mereka akan mudah memaafkan. Lalu saat rasisme secara gila dilakukan oleh Oraganisasi Masyarakat (Ormas) di Surabaya, Jokowi dengan entengnya mengatakan bahwa marah itu boleh, tetapi memaafkan itu jauh lebih baik, kalimat rendahan serupa digelontorkan pula oleh Ibu Kofifa sebagai Gubernur Jawa Timur, (https://kbr.id/berita/08-2019/insiden_asrama_papua_di_surabaya__khofifah_minta_maaf/100243.html, Sabtu, 13-11-2021. Pukul. 10:58 wit), dan Ibu Trisma Maharani, Wali Kota Surabaya, (https://www.kompas.com/tren/read/2019/08/20/210612065/tri-susanti-wakil-ormas-minta-maaf-karena-terpancing-kabar-mahasiswa-papua?page=all, Sabtu, 13-11-2021. Pukul. 10:59 wit) yang doyan bergelagak sebagai “mama Papua” demi kepentingan politik di Papua.

    Manusia-manusia estengah dajal ini mengira bahwa kata maaf saja sudah cukup untuk mengobati luka dan duka mendalam orang asli Papua yang diperlakukan tidak adil dibawah payaung penderitaan, penindasan, intimidasi, diskriminasi, dan penjajahan selama 60 tahun tanpa melakukan treatmen-treatmen rekonsiliasi dan dialogis, ((https://suarapapua.com/2021/11/13/ciska-abugau-permintaan-maaf-kapolres-tidak-akan-kurangi-rasa-sakit-hati-masyarakat-intan-jaya/, Sabtu, 13-11-2021. Pukul. 10:49 wit). Bahwa kata-kata maaf yang keluar dari mulut penuh dusta itu perluh juga dikonkritkan dalam peran resolusif yang realistis, yakni memprioritaskan peran rekonsiliasi dan dialogis. Orang-orang tersebut mesti sadar bahwa air mata dan darah orang asli Papua itu tidak bisa digantikan dengan Otsus Jilid Dua, Jembatan Merah, Stadion Papua Bangkit, Jalan Trans, Pemekaran atau Daerah Otomi Baru (DOB), dan pendekatan-pendekatan semu lainnya. Kasus Papua perluh langkah rekonsiliasi dan dialogis, agar kedamaian yang sejati itu terwujud dan terpancar di Indonesia dari Papua bersama fajar timur.

    Pendekatan Pembinaan Teritorial Sebaga Resolusi Cacat Atas Resolusi Konflik Papua

    Alhasil pihak TNI-POLRI yang selama ini membombardir Papua-Papua Barat dengan skandal operasi militer yang radikal, brutal, brandal, dan fatal. Maka pintu akal sehat dan hati nurani mereka mulai terbuka dengan adanya etikat untuk merubah pendekatan resolusi konflik Papua dengan jalan penyelesaian yang damai, yakni Pendekatan Pembinaan Teritorial, di mana bukan senjata yang akan dipakai lagi untuk meredam konflik Papua, melainkan dengan pendekatan yang lebih lunak dengan menggunakan senjata sosial, dimana komunikasi dan dialog diprioritaskan.

    Dan proyek besar ini akan dipercayakn kepada Jenderal TNI Andika Prakasa yang baru saja dilantik sebagai Panglima Tertinggi TNI. Andika Prakasa sendiri diyakini oleh instansi keamanan dan pertahanan RI sebagai sosok yang professional dalam strategi penyelesasian konflik senjata tanpa peperangan. Rencananya formula strategi penyelesaian konflik Papua tanpa peperangan dan kekerasan tersebut akan dibahas pada Desember, sehingga pada awal 2022 operasi militer tanpa tanpa senjata api tetapi senjata sosial ini akan digelar di Papua, khsusnya di zona-zona konflik. Hal ini disampaikan oleh Asops Polri Irjen Poln Imam Sugianto, pada Rabu, 10 November 2021, (https://www.tribunnews.com/nasional/2021/11/10/polri-susun-formula-soal-rencana-andika-perkasa-ingin-selesaikan-konflik-papua-tanpa-peperangan, Sabtu, 13-11-2021. Pukul. 10:40 wit).

    Upaya pemerintah dalam hal ini POLRI-TNI sebagai dua pelaku tewasnya warga sipil di Papua mesti mendapatkan respek posistif dari semua elemen bangsa, khususnya orang asli Papua sebab setelah hampir 60 tahun tsunami tragedy kemanusiaan terjadi di Papua, baru kali ini instansi keamanan dan pertahanan bangsa dan negara kita berpikir waras, berkehendak baik, dan bertindak manusiawi. Mudah-mudahan hal positif semacam ini lebih ditingkatkan agar marwah dan fitra TNI-POLRI semakin mengharumkan nama baik Indonesia di kancah Internasional, bukan mala membusukkan nama baik Indonesia di kancah Internasional sebab situasi HAM di Papua merupkan luka bernanah dan membusuk di tubuh NKRI (Magnis Suseno).

    Rekonsiliasi dan Dialog Damai Sebagai Dua Metode Resolusi Konflik Terbaik di Papua

    Kendati pun demikian etikat TNI-POLRI dalam resolusi konflik dengan strategi Pendekatan Pembinaan Teritorial ala Andika Prakasa ini sangat-sangat menegaskan bahwa orang-orang besar yang berkecimpun dalam petinggi TNI-POLRI, khsusnya Jenderal Andika Prakasa sendiri sebagai Pangglima TNI RI yang baru juka otak pendekatan baru resolusi konflik senjata di Papua, sepertinya sedang Sakit Jiwa, Salah Tidur, atau Terkena Benturan, sehingga hilang akal sehat dan tertutup hati nurani.

    Mengapa demikian? Sebab mereka seakan-akan lupa bahwa salah satu pendekatan resolusi konflik Papua yang pamungkas ialah Dialog Damai, hal ini bukan karangan lepas-bebas orang-orang amatiran, melainkan berdasarkan studi Panjang yang telah ditempuh oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang konsep pemikirannya tertuang dalam buku Papua Road Map, 2009. Dan juga tiga buku yang ditulis oleh Pastor Neles Tebai (alm) koordinator Jaringan Damai Papua, yakni Dalog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, diterbitkan oleh SKPKC Jayapura pada 2009, Angkat Pena Demi Dialog Papua : Kumpulan Artikel Opini Tentang Dialog Dari Tahun 2001-2011, dan Bersama-Sama Mencari Solusi Untuk Perdamaian Papua: Bunga Rampai Tentang Dialog Dari Tahun 2011-2017. Juga tambahan buku dengan judul 100 Orang Indonesia Angkat Pena Demi Dialog Papua, dua buku Pater Neles dan satu buku tambahan ini diterbitkan oleh INTERFIDEI pada 2013.

    Dengan hormat dan penuh rasa penghargaan yang tinggi, alangkah baiknya buku-buku tersebut juga buku-buku yang lain yang membahas soal rekonsiliasi perdamain dan Dialog damai dibaca ulang-ulang oleh Jenderal Andika Prakasa, juga pimpinan TNI-POLRI RI sebelum dan dalam pembahasan strategi resolusi konflik senjata (genjatan senjatan atau jeda kemanusiaan) Papua pada Desember nanti. Agar pendekatan yang diprioritaskan adalah rekonsiliasi dan dialog damai. Maka ada beberapa poin penting yang mesti dikawal oleh pucuk pimpinan TNI-POLRI, terutama Jenderal Andika Prakasa yang terkesan sendang dalam situasi krisis akal sehat dan hati nurani dalam menelurkan resolusi konflik senjata di Papua;

    Pertama, menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, dengan mengawal kasus-kasus tersebut agar orang-orang cacat di kementerian politik, hukum, dan HAM, lebih khsusnya Mahfud MD agar lekas bangun dari tidur berkepanjagan dan menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Menindaklanjuti seruan moral dari 194 imam Papua yang dikeluarkan pada Kamis, 11 November 2021 dengan mendorong dan memprioritaskan, genjatan senjata, jeda kemanusiaan, rekonsiliasi perdamaian dan dialog damai sebagai sarana menemukan solusi atas konflik Papua.

    Kedua, Andika Prakasa dan rombongannya perlu bersinergi, berkoordinasi, dan berkolaborasi dengan koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Pastor John Bunai dan Koordinator Jaringan Doa Rekonsiliasi Untuk Pemulihan Papua (JDRP2) Sdr. Selpius Bobii sebagai dua fasiliatator kunci atau “dua mata logam” Rekosiliasi perdamaian dan dialog damai Papua. Bila perluh pembahasan tentang perumusan strategi penyelesaian konflik Papua tanpa peperangan itu dilakukan di Papua dengan melibatkan JDP dan JDRP2, agar strategi yang dilahirkan pun merupakan pendekatan yang mampu menciptaan perdamaian sejatai di Papua.

    Sebagai sumber refensi utama dalam melihat Papua dan pergumulannya menuju perdamaian, alangkah baiknya Andika Prakasa dan romobongan membaca buku-buku yang tentang rekonsiliasi dan dialog damai yang telah ditulis oleh Pater Neles dan Dr. Muriddan Wijojo. Bila perluh dibentuk tim-tim dokumnetasi dan publikasi karya-karya dua bapa perdamian Indonesia ini baik dalam bentuk buku, tulisan di surat kabar, materi seminar, diskusi, kuliah umum, dan komentar-komentar Pater Neles di Pax Christy. Jika tidak, maka penulis adalah orang pertama yang seratus persen meyakini bahwa Pendekatan Pembinaan Teritori Ala Jenderal Andika Prakasa dan rombongannya akan gagal seratus persen, sekali lagi tidak ada jalan lain demi “Papua Tanah Damai” selain melalui “Rekonsiliasi dan Dialog Damai” Mari dorong solusi bersama-sama di “Para-Para Adat” demi kepentingan bersama dan perdamaian semua orang.

     Penulis Siorus Degei, Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura-Papua.

    Papua
    Aleks Waine

    Aleks Waine

    Artikel Sebelumnya

    Selayang Bercermin“Bongkar, Bongkar, dan...

    Artikel Berikutnya

    Lagi-lagi! Mahasiswa Meepago Minta Pemda...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Nagari TV, TVnya Nagari!
    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Indonesia Hanya Butuh Pemimpin Jujur yang Berani
    Babinsa Koramil Sarmi Laksanakan Komsos di Kampung Tafarewar
    Terima Kunjungan dari Ster Mabes TNI, Satgas Yonif 512/QY Dapat Apresiasi atas Pelaksanaan Kegiatan Teritorial

    Ikuti Kami