Dalam pembabakan sejarah perjuangan panjang akhirnya pengibaran bendera berlangsung pada tanggal 01 Desember 1961 di Kota Hollandia, di semua ibu kota (onderafdeling). Di mana-mana hal itu terjadi dalam suasan khidmat dan tenang, dan dihadiri oleh penguasa-penguasa setempat. Selanjutnya, para pendahulu mengingat sikap Indonesia yang dengan kata-kata dan tindakan tidak mengabaikan kesempatan untuk menunjukkan kebenciannya terhadap hak menentukan nasib sendiri, hal ini berarti juga satu pengambilan jarak secara kolektif dari Negara itu (Drooglever 2010:575).
Di sisi lain, Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 pada alinea I, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-keadilan.” Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, tetapi petikan ungkapan ini bernada kontroversial dengan apa yang sudah dan sedang dialami orang Papua di atas tanahnya sendiri. Sejak 1969(PEPERA) Papua berada dibawa pangkuan NKRI, orang Papua selalu diabaikan dan tidak diperhatikan sebagai sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat. Orang Papua tidak mendapatkan haknya sebagai sebuah bangsa di antara bangsa lain yang merdeka.
Pada titik ini Indonesia terus melakukan intimidasi, teror, pembunuhan, stigmatisasi nihil, dan segala macam kemaksiatan di atas tanah Papua. Adanya kedangkalan Indonesia untuk membenamkan persoalan di Papua dengan cara-cara kekerasan. Apalagi nasib para pengungsi Nduga, Intan Jaya, Kiwirok, dan Maybrat akibat kontak senjata antara TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) yang terus memakan korban jiwa di hutan-hutan. Eksistensi orang Papua berada dalam ambang Genosida dan Ekosida di atas alam leluhurnya sendiri. Perselisihan ini tidak bisa disampingkan dengan “sepele” seperti persoalan biasa lainnya. Sebab, persoalan ini berkaitan dengan sejarah dan ideologi politik ke-bangsa-an yang sedah mengakar dan berlangsung lama.
Persoalan di atas tanah Papua semestinya dilihat dengan jernih dan kepala yang dingin, sehingga sedapat mungkin memahami kebenaran duduk persoalannya. Jika persoalan Papua hanya dipandang sebagai “jenaka” di Jakarta, maka batu-batu dan rumput-rumput ini akan berdiri dengan kata “lawan”. Oleh karena itu, Jakarta dalam hal ini Istana mesti melakukan penarikan militer dan hentikan pembangunan pos-pos militer maupun pemekaran-pemekaran yang sedang diupayakan. Istana mesti siap menuntaskan persoalan Ideologi Politik dengan orang Papua berdasarkan sejarah yang objektif dan komprehensif (luas, menyeluruh).
Orang Papua dalam Ideologi Papua Merdeka
Dengan melihat rentetan persoalan di atas tanah Papua, orang Papua sudah tidak percaya dan pesimis dengan Indonesia pada umumnya. Karena, orang Papua tidak memiliki harapan hidup, berada di bawah bingkai NKRI. Orang Papua sudah puas dengan segala cacian, makian, dan segala ujaran kebencian yang diberikan Indonesia kepada orang Papua. Selain itu, persoalan pelanggaran HAM di seluruh tanah Papua yang tidak pernah diselesaikan dan Negara Indonesia tidak pernah membahasnya dalam forum atau ruang tertentu untuk mencarikan solusi-solusinya secara manusiawi dan bermartabat. Hal itu tidak pernah diwacanakan, apalagi dilakukan. Oleh karena itu, dengan berlandaskan pada sejarah bahwa orang Papua juga memiliki Lagu Kebangsaan dan Bendera, maka orang Papua tetap dan akan terus memegang slogan “Papua Merdeka Harga Mati”.
Kemudian, kepentingan Sumber Daya Alam (SDA) terus dilancarkan dengan mengirim berbagai pengusaha nasional maupun internasional di Papua. Pendropan militer pun ditingkatkan dalam kapasitas yang tidak sedikit. Pembangunan pos-pos militer masif diperbanyak di setiap daerah. Pemekaran juga ditambahkan di berbagai wilayah sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB). Penerapan yang diregulasikan dalam Otonomi Khusus (Otsus) sebagai klaster pemerintah pusat, yakni Jakarta. Orang papua digiring dalam kegiatan ataupun irama yang sedang dimainkan oleh Jakarta. Kemungkinan bukan di Jakarta, tetapi mungkin ada di luar negeri, Inggris, Amerika, Cina, Spanyol, Korea dan daerah lainnya. Dengan itu, orang Papua melihat HAM yang tidak dihargai dan Ekonomi-Politik Indonesia intens merembes dalam segala lini di tanah Papua.
Pergolakan segala kepentingan ini memberikan keraguan dan ketidakpercayaan orang Papua terhadap Indonesia. Maka, orang Papua memintah kepada pemerintah, hendaknya mengakui kemerdekaan Papua sebagai Negara yang berdaulatan di Pasifik. Tidak ada masa depan, apabila orang papua tetap dengan Negara Indosenia. Orang Papua akan berada dalam ambang kepunahan. Hal ini dilandaskan dengan segala bukti, seperti 08 Desember 2014 “Paniai Berdarah”. Kasus ini telah dijanjikan oleh Presiden untuk menanganinya, tetapi sampai saat ini belum ada sinyal positif. Rupa-rupanya sama dengan 06 Juli 1998 “Biak Berdarah”, 04 April 2003 “Wamena Berdarah”, dan lainnya.
Orang Papua merasa, ada upaya pemerintah untuk mendepopulasikan orang Papua di tanah Papua dan mau menguras kekayaan alam Papua. Dengan sikap tegas orang Papua tetap akan terus berjuang untuk memperjuangkan kemerdekaan yang sudah pernah ada sebagai bentuk nasionalisme dan patriotisme terhadap bangsa Papua di atas tanah leluhur Papua.
Sikap Jakarta Dalam Ideologi Papua Merdeka
Dengan segala daya upaya, pemerintah pusat telah melakukan pemerataan pembangunan baik politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan agama. Namun, hampir selalu tidak membawakan hasil yang memuaskan bagi orang Papua. Mulai dengan membagi wilayah Papua dengan beberapa daerah khusus yang diperhatikan dan diawasi secara administratif, yakni Domberai dan Bomberai (Provinsi Papua Barat), Meepago, Lapago, Mamta-Tabi, Saireri, Anim Ha (Provinsi Papua).
Ideologi Politik atau lazimnya Organisasi Papua Merdeka (OPM) dinilai telah melakukan penyimpangan terhadap sila ke-3 dari pancasila yang berbunyi “Persatuan Indonesia”. Nilai persatuan indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia (Guru Pendidikan: OPM). Di sini, Indonesia melihat Papua dengan tendensi penyatuan dan mengabaikan aspek lainnya. Sehingga, Indonesia dalam hal ini terkesan sepihak untuk menyatukan orang Papua dalam pangkuan NKRI. Dengan dasar yang sama, Indonesia gunakan pada PEPERA 1969 yang cacat hukum dan minim moral.
Jakarta berpandangan, bahwa tujuan ideologi Papua merdeka ialah upaya melaksanakan penggulingan pemerintahan yang saat ini berdiri di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, yang sebelumnya bernama Irian Jaya, memisahkan diri dari Indonesia, dan menolak pembangunan ekonomi dan modernitas. Sebagaimana menurut Nicolas Jouwe, Organisasi Papua Merdeka dibentuk pada 1965 pada saat pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30SPKI), oleh para serdadu Belanda di Papua dengan tujuan untuk memusuhi Republik Indonesia dan mengganggu keamanan di wilayah paling timur dan paling baru negara Indonesia. Sikap Jakarta bagi ideologi politik Papua jelas tidak ada tempat dan menolak upaya kemerdekaan Papua, sebab bagi Jakarta sekali merdeka tetap merdeka. Maka, dengan sikap tegas Indonesia terus mengkampanyekan “NKRI Harga Mati”.
Ideologi Papua Bukan “Jenaka” di Jakarta
Ketika kita mulai mengetahui betapa pentingnya dialog, serta merta kita diajak juga untuk duduk setara demi kemanusiaan dan keutuhan alam ciptaan di Papua. Dengan kata lain, kita berbicara soal Papua, berarti kita duduk berbicara soal manusia dan alamnya leluhurnya. Sebab, keduanya tidak bisa dipisahkan dan tak terpisahkan. Karenanya, kita tidak bisa melupakan orang Papua lalu hanya mencintai alamnya. Manusia Papua dan Alam Papua merupakan satu kesatuan yang sudah dan akan terus ada sebagai bagian dari kehidupannya. Jakarta dalam hal ini tidak bisa melihat dengan “sebelah mata” manusianya kemudian mengambil alamnya. Bukan berarti orang Papua diperhatikan soal kesejahteraannya lalu alamnya dikeruk dengan semena-mena oleh kontraktor. Orang Papua ingin dihargai dan dihormati sebagai manusia yang merdeka, seperti bangsa lain.
Selain itu, orang Papua menginginkan telingah Jakarta supaya harapan dan cita-citanya dapat didengar di ruang dialog yang setara. Orang Papua tidak membutuhkan kesejahteraan melulu yang justru akan membawa orang Papua dalam genosida dan ekosida. Hal ini telah dan sedang terjadi di atas tanah Papua dalam berbagai bentuk. Rupa-rupanya juga Jakarta masih tertawa “terbahak-bahak” di atas meja sidang parlemen dan merayakan kemenangan di atas para pengungsi Intan Jaya, Nduga, Kiwirok, dan Maybrat. Hari ini, mereka sedang mengalami kelaparan dan tidak sedikit juga yang meninggal dunia akibat kelaparan maupun tertebak. Sehingga, atas nama kemanusiaan hal ini mesti diatasi dengan menarik aparat militer di lokasi konflik bersenjata. segera lakukan dialog antara Papua dan Jakarta melaui Jaringan Damai Papua (JDP). Orang Papua harus diajak dengan pendekatan kemanusiaan bukan pendekatan senjata. Senjata dengan senjata bertemu, maka tidak akan ada penyelesaian. “mari tong bicara di para-para adat”, kita bicara dari hati ke hati.
Penulis, Yosep Riki Yatipai Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura-Jayapura.